Jumat, 07 Januari 2011

Warteg Kena Pajak, Ide Kompeni

JAKARTA (Pos Kota) – Rencana Pemprov DKI Jakarta yang akan menerapkan pajak 10 persen terhadap Kaki-5, termasuk warung Tegal (Warteg) menuai protes. Pemilik warteg menilai rencana itu merupakan ide penjajah, yang mempercepat kebangkrutan usaha Warteg.
Ketua Umum Koperasi Warung tegal (Kowarteg) Sastoro menegaskan wacana itu bagian dari kalapnya pemprov dalam mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Cuma penjajah atau kompeni yang punya ide begitu,” cetusnya kepada Pos Kota, Selasa (30/11).
Dia menegaskan pengenaan pajak makanan tersebut menjadi badai besar dalam usaha Warteg, yang sekarang ini lesu darah akibat melonjaknya harga bahan makanan. Pendapatan tak mampu mengejar biaya.
“Uang sewa kontrakan naik, harga-harga makanan naik sampai 50 persen, modal musti ditambah. Padahal harga makanan diusahakan tidak naik, karena memang Warteg memegang teguh prinsip menyajikan makanan enak, banyak, sehat dan murah. Makan Rp5.000 kenyang. Sekarang ini, satu warung dapat Rp200.000 sehari aja udah bagus,” cetusnya.
Karena itu, bila pajak diberlakukan maka semakin besar biaya yang harus ditanggung Warteg. “Semakin cepat saja 35.000 Warteg di Jabodetabek bangkrut. Artinya juga mengancam 175.000 orang yang menggantungkan nasibnya di usaha Warteg. Itu dengan asumsi Warteg menghidupkan 5 orang, termasuk pemilik dan yang bekerja,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan bangkrutnya Warteg bisa berakibat fatal bagi perekonomian Jabodetabek. “Kalau Warteg tutup kemana coba mau cari makanan murah? Pekerja dan pegawai bisa kelimpungan nambah pengeluaran uang makan. Akibat lanjutnya, perusahaan juga harus memperbesar insentif uang makan,” tuturnya.
UNTUNG RP50.000
Lesunya usaha juga dikemukakan Awang, 30, pemilik warteg di kawasan Prapanca Raya. Dia mengemukakan minimal dibutuhkan modal Rp800 ribu per hari sebagai belanja dengan sajian hingga 15-an menu di warteg ini. Sehari hanya mampu meraih untung bersih tak lebih dari Rp50 ribu-an. Hal ini lantaran ia memberi kelonggaran ngutang bagi sebagian pelanggan.
Protes serupa juga dilontarkan sejumlah pemilik warteg lainnya. Seperti penuturan Kusnadi, 42, pemilik warteg di Kebayoran Lama. Menurutnya, pajak yang akan dijerat ke pemilik warteg sebagai tidak tepat sasaran dan harus dibatalkan.
“Lagipula seharusnya pemerintah membina usaha warteg dan kelas Kaki-5 lainnya seperti bantuan permodalan, lokasi usaha yang layak hingga pemasaran,” tuturnya.
SINGKIRKAN DULU
Pernyataan keras juga datang dari Ridho Kamaludin, Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta. Dia menegaskan wacana pajak bagi restoran Kaki-5 harus disingkirkan dulu. “Perbaiki dulu sistim yang ada. Misalnya masalah sistim pajak online di seluruh wajib pajak sektor restoran,” ujarnya.
Wacana pemberlakuan pajak itu dikemukakan Arif Soesilo, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Menurut Arif, potensi pajak pada warung atau restoran Kaki-5 tersebut sangat besar. Tapi, katanya, penerapannya harus melalui kajian matang dengan pendataan yang akurat. (rachmi/john/ak/aw)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar