Kamis, 06 Januari 2011

MAFIA PAJAK

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung (wikipedia). Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo menjelaskan bahwa total realisasi penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selama tahun 2009 mencapai Rp 565,77 triliun atau sebesar 97,99 persen dari target. Pada tahun 2009, pertumbuhan penerimaan pajak melambat menjadi 4,38 persen karena dampak krisis keuangan global setelah pada 5 tahun sebelumnya penerimaan pajak selalu naik.
Layaknya pepatah “ada gula ada semut”, maka penerimaan pajak juga merupakan lahan subur terjadinya penyimpangan (korupsi). Kwik Kian Gie dan Faisal Basri sempat menyebut angka sebesar Rp 140 triliun dan Rp 40 triliun untuk pajak yang hilang dikorupsi. Namun belum ada penelitian yang akurat yang bisa menggambarkan potensi korupsi dalam penerimaan pajak.
Modus-modus operandi dari Mafia Pajak sudah banyak ditulis. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
 Pola-pola korupsi pajak
 Korupsi pajak oleh J. Danang Widoyoko (koordinator ICW
Dalam tulisan ini, saya ingin memfokuskan pada strategi untuk memberantas mafia pajak terutama terkait pemeriksaan lapangan yang dilakukan aparat Dirjen Pajak (fiskus) atas Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan Wajib Pajak.
Sebagaimana kita ketahui wewenang Dirjen Pajak sangat tinggi. Mereka yang menentukan potensi penerimaan pajak dan sekaligus yang bertugas merealisasikannya. Mereka yang melakukan pemeriksaan pajak dan sekaligus mengadilinya. Mereka yang “berhak” menafsirkan bunyi UU Pajak (KUP, PPh, PPN) dan jika Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan/penafsiran tersebut (Surat Ketetapan Pajak), maka wajib pajak dipersilahkan mengikuti proses selanjutnya (keberatan, banding, dst) dengan catatan telah menyetor minimal 50% dari Nilai SKP.
Sebagaimana halnya Bea Cukai, Dirjen Pajak idealnya juga diawasi secara ketat oleh aparat penegak hukum, khususnya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bekerjasama dengan KPK. Remunerasi bagi pegawai Dirjen Pajak merupakan konsekuensi logis atas strategi Stick and Carrot. Jika penghasilan (carrot) sudah dipenuhi secara manusiawi (bisa hidup gagah), maka penegakan hukum (stick) juga wajib dilakukan secara tegas dan konsisten.
Jauh sebelum adanya reformasi birokrasi di Depkeu, aparat Dirjen Pajak sering terlihat terlalu mencolok dalam gaya hidupnya (life style), sehingga sering menimbulkan kecemburuan dan sikap curiga kepada mereka. Berapa gaji mereka sampai punya rumah sebegitu indah, mobil sebegitu mewah, dan pola hidup yang jauh dari sederhana. Oleh karena itu, perhatian aparat penegak hukum untuk memperhatikan dugaan adanya mafia pajak menjadi sangat penting karena hal tersebut juga merupakan “tuntutan” masyarakat. Bagi aparat Dirjen Pajak sendiri merupakan pembuktian bahwa tidak semua aparat Dirjen Pajak terlibat dalam mafia pajak atau bahkan tidak ada yang disebut dengan mafia pajak itu.
Dalam pelaksanaannya ada beberapa kendala untuk melakukan penindakan hukum secara tegas kepada aparat Dirjen Pajak.
Pertama, selama ini ada kecenderungan Dirjen Pajak berlindung dibalik Pasal 34 KUP, ketika BPK, Itjen Depkeu (IBI), atau aparat penegak hukum mencoba melakukan penelitian awal atas dugaan terjadinya tindak pidana korupsi. Kondisi ini menyebabkan aparat sulit mencari bukti awal sebagai persyaratan untuk melakukan penyelidikan/ penyidikan.
Kedua, selama ini terdapat hubungan yang bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara Fiskus dengan Wajib Pajak. Tentu saja yang dimaksud Fiskus dan Wajib Pajak di sini adalah oknum (tidak bisa digeneralisasi bahwa semua atau sebagian besar Fiskus dan Wajib Pajak melakukan hal yang sama. Tulisan kisah seorang pemeriksa pajak di sini mungkin bisa menjadi referensi). Sebagian besar wajib pajak lebih suka membayar “pajak” kepada Fiskus dibandingkan langsung ke negara. Artinya, sejumlah kecil kewajiban pajaknya dibayarkan ke negara, sedangkan sebagian yang lain dibayarkan ke “Fiskus”, dengan asumsi Wajib Pajak masih bisa menghemat pajak yang “sebenarnya” terutang ke negara. Sebagai businessman, wajib pajak cenderung menghindari konfrontasi dengan Fiskus karena sejarah menunjukkan bahwa dengan bermain aman bersama Fiskus, maka usaha mereka akan “dijamin aman” dari urusan-urusan pajak yang rumit.
Ketiga, selayaknya markus (makelar kasus) di peradilan yang banyak diperankan pengacara, maka dalam konteks mafia pajak, yang bertindak sebagai perantara antara Fiskus dan Wajib Pajak adalah konsultan pajak. Di beberapa wajib pajak yang masih “culun” sering ditemui fee untuk konsultan pajak yang tidak wajar (jumlah/nilainya). Fee inilah yang biasanya digunakan untuk “bermain” dengan Fiskus. Mekanisme suap secara tidak langsung seperti ini memang menyulitkan dalam proses pembuktian di pengadilan.
Keempat, sebagian besar Fiskus punya background sebagai akuntan/ sarjana hukum. Oleh karena itu, mereka sangat lihai bermain-main dalam mafia pajak dan bagaimana menyembunyikan harta hasil kekayaannya.
Lalu, apa dan bagaimana strategi pemberantasan mafia pajak yang bisa menimbulkan efek jera kepada para pelakunya? Dalam tulisan ini, saya mencoba memberi usulan kepada pihak yang berwenang untuk menempuh cara-cara luar biasa dalam memberantas mafia pajak yang sudah mengakar, bahkan setelah reformasi depkeu dijalankan.
Reputasi KPK yang cukup dipercaya masyarakat plus Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan presiden, tekad Dirjen Pajak untuk melakukan reformasi birokrasi, dan dukungan Kadin dalam pemberantasan korupsi harus benar-benar bisa dimanfaatkan dengan baik. Teknisnya ada semacam kesepakatan bersama antara KPK-Dirjen Pajak-Kadin-Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk memberantas Mafia Perpajakan.
Dalam hal ini, ada semacam kesepakatan/MOU antara KPK-Dirjen Pajak-Kadin-Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tentang Pakta Anti Suap yang isinya antara lain adalah:
1. Seruan kepada para pengusaha untuk menolak memberikan suap kepada aparat Pajak. Dalam kondisi tertentu, KPK (dengan proses undercover dengan memanfaatkan aparat intelijennya) akan mendampingi pengusaha yang sedang diperas oleh aparat Pajak (wilayah DKI Jakarta sebagai pilot project). Strategi ini ditujukan untuk menangkap basah aparat Pajak yang nakal;
2. Bekerjasama dengan Dirjen Pajak untuk menangkap pengusaha yang mencoba menyuap aparat pajak. Teknisnya adalah secara formal KPK mengirim pegawainya sebagai tenaga ahli yang melakukan pemeriksaan pajak. Untuk menghindari tingkat kebocoran, tenaga ahli tersebut harus diperlakukan sebagai pegawai baru atau merupakan pegawai pindahan. Atau bisa saja, KPK/Satgas Pemberantasan Mafia Hukum merekrut secara informal mengangkat pegawai Dirjen Pajak sebagai agen KPK (status kepegawaian tetap pegawai Pajak tetapi secara informal KPK menggaji mereka (strategi undercover). Merekalah yang menjadi mata telinga KPK/ Satgas untuk memberantas Mafia Pajak.
3. Membuka saluran khusus (hot line atau semacam online monitoring system khusus mafia pajak) untuk menampung informasi dari masyarakat terkait mafia pajak.
Di samping langkah-langkah di atas, KPK/ Satgas harus pro aktif mengkampanyekan komitmennya dalam memberantas mafia pajak dengan harapan banyak whistleblower yang memberikan informasi atau minimal bisa mendidik masyarakat untuk lebih aware. Mekanisme perlindungan dan penghargaan kepada whistleblower yang memberikan informasi penting juga perlu dipersiapkan.
Jika ada kemauan, di situ ada jalan …. Selamat Tinggal Mafia Pajak atau kita gagal memanfaatkan momen prioritas program presiden untuk memberantas mafia hukum alias ganyang mafia hukum. Wallahu ‘alam Bish-shaw

Benarkah Mafia Pajak masih ada pasca reformasi birokrasi di Departemen Keuangan (Depkeu)? Jika benar masih ada, apa akar masalah munculnya Mafia Pajak tersebut?
Pada tulisan saya sebelumnya tentang mafia pajak (di sini) dan diskusi dengan beberapa sahabat, reformasi di bawah komando Ibu Sri Mulyani (Menkeu) belum mampu memberantas mafia pajak. Dalam minggu ini kita dihebohkan dengan aliran dana sebesar Rp 25 miliar yang mengalir ke rekening Gayus Tambunan (lulus SMU sekitar tahun 1997 dan PNS di Ditjen Pajak dengan Golongan III/a) , lewat laporan Komjen Susno Duadji kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Sebelumnya, Komjen Susno Duadji juga mengungkap aliran dana sebesar US$500.000 yang mengalir ke rekening Yudi Hermawan (lulus SMU sekitar tahun 1990, PNS Golongan III/c) yang terkait dengan tindak pidana korupsi dan money laundering.
Kasus lainnya yang masih heboh saat ini adalah kasus Muhammad Misbakhun, eks pegawai pajak yang “banting stir” menjadi pengusaha dan politisi. Melihat latar belakang Bakhun (panggilan akrab Muhamad Misbakhun) yang tergolong dari keluarga miskin dan mantan ajudan Dirjen Pajak semasa hadi Purnomo, membuat publik curiga dengan asal-usul dana yang dipergunakan Bakhun sebagai modal awal dalam bisnisnya hingga akhirnya mencuat kasus L/C “gagal bayar” PT Selalang Prima Internusa milik Misbakhun senilai US$ 22,5 juta yang diterbitkan Bank Century
Di masyarakat sendiri telah berkembang stigma negatif dengan pegawai pajak yang mempunyai “life style” yang tidak sesuai dengan gajinya sebagai pegawai negeri sipil. Sudah menjadi rahasia umum, pegawai Ditjen Pajak mempunyai kekayaan yang mencolok. Namun demikian, sepanjang pengamatan saya, masih banyak pegawai pajak yang punya track record yang baik. Namun kasus-kasus yang dijelaskan di atas yang notabene dilakukan oknum pegawai pajak, ibarat nila setitik yang mampu merusak susu sebelanga. Sejauh ini belum ada penelitian tentang seberapa besar (jumlah) Mafia Pajak ini
Dalam tulisan ini saya mencoba mengungkap akar masalah tumbuh suburnya mafia pajak, meskipun telah ada reformasi birokrasi di Ditjen Pajak-Depkeu. Sedang keberadaan Mafia Pajak tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun sebagai orang di luar sistem, apa yang saya sampaikan ibarat puncak gunung es yang bisa nampak di permukaan. Sisanya semoga bisa dilengkapi kompasianer yang berasal dari Ditjen Pajak atau dari lingkungan Depkeu ataupun pengamat yang mengkonsentrasikan kajiannya dalam masalah perpajakan.
Sebagian besar pegawai Ditjen Pajak diperoleh dari lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Program Diploma Pajak (Prodip Pajak) yang berlokasi di daerah Bintaro Jakarta Selatan. Di sekolah kedinasan milik Depkeu tersebut dikenal sebagai gudangnya lulusan SMU yang brilian. Kebanyakan mahasiswa sekolah kedinasan tersebut berasal dari daerah-daerah seluruh Indonesia. Bahkan tidak jarang mereka berasal dari keluarga miskin. Sebagai sebuah sekolah kedinasan, mahasiswa tidak dikenakan biaya, bahkan sampai sekitar tahun 1997/1998-an, di samping gratis ketika kuliah, mereka juga mendapatkan gaji sebagai calon pegawai negeri sipil plus buku-buku teks dan buku tulis gratis ataupun pelayanan kesehatan gratis yang disediakan di lingkungan kampus.
Begitu lulus Diploma III, mereka langsung ditempatkan di lingkungan Depkeu, BPKP, BPK, atau instansi pemerintah lainnya, termasuk di Ditjen Pajak. Pada tahun-tahun awal di Ditjen Pajak, banyak lulusan STAN dan Prodip Pajak tersebut masih bisa mempertahankan idealismenya. Sayang akibat pengaruh lingkungan kantor dan iming-iming dari wajib pajak yang menggiurkan, banyak diantaranya yang masuk dalam area Mafia Pajak. Akibatnya, banyak diantara mereka yang sudah mampu membeli rumah di daerah elit, mobil baru, dan berbagai asesoris lainnya yang tidak seimbang dengan penghasilannya sebagai PNS. Penduduk di sekitar kampus STAn/ Prodip Pajak sering menjadi saksi bisu perubahan “life style” yang tidak wajar dari pegawai Ditjen Pajak tersebut.
Berdasarkan obrolan dengan pegawai pajak yang masih terjaga idealismenya, lingkungan kantor di Ditjen Pajak sering kurang kondusif. Apalagi sebelum era reformasi birokrasi di Depkeu. Cerita dari seorang pegawai pajak bernama Aris Sarjono (di sini) mungkin bisa menjadi referensi tentang kondisi kantor tersebut. Namun tantangan paling besar sebenarnya adalah godaan dari wajib pajak. Sering wajib pajak punya prinsip bahwa “lebih baik membayar kepada pemeriksa pajak daripada ke negara“. Mengapa demikian?
Bagaimanapun seorang pengusaha (wajib pajak) pasti akan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari usaha/bisnis yang digelutinya. Termasuk dalam kaitannya dengan pajak,mereka berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya. Ketika wajib pajak membayar semua kewajibannya ke negara (kas negara), maka tidak ada keuntungan langsung yang diperolehnya. Sebaliknya ketika wajib pajak membayar sebagian kepada pemeriksa (aparat) pajak dan sebagian kecil ke negara, maka keuntungan di depan mata bisa langsung diperolehnya. Pertama, dengan bekerjasama dengan pemeriksa (aparat) pajak, besarnya pajak yang harus disetor ke negara bisa dinegosiasikan (sudah pasti lebih kecil dari kewajiban pajak yang sebenarnya). Kedua, pemeriksa pajak tersebut bisa dijadikan “konsultan pajak” secara informal atau sebagai “informan” terkait masalah perpajakan. Ketiga, urusan pemeriksaan pajak bisa dipersingkat, sehingga prosedur pajak yang sering menempatkan posisi wajib pajak sebagai pihak yang lemah, bisa diatasi. Kondisi inilah yang mendorong pengusaha (wajib pajak) memilih jalan pintas dengan cara “kongkalingkong” dengan aparat pajak.
Sebaliknya, aparat pajak juga mengambil keuntungan dari “godaan” wajib pajak tersebut. Dengan melakukan “kongkalingkong” dengan wajib pajak, mereka memperoleh banyak keuntungan. Pertama, pekerjaan bisa cepat diselesaikan karena wajib pajak cenderung kooperatif dengan aparat pajak yang menjadi teman “kolusinya”. Kedua, mendapatkan “ampau” yang jumlahnya sering menggiurkan (lihat saja kasus Gayus di atas, sebagai seorang PNS di Ditjen Pajak dengan gaji 7-8 juta rupiah, seumur hidup tidak bakalan mempunyai rekening + Rp 25 miliar). Ketiga, mempunyai network yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Terkait dengan kondisi kantor (masalah internal), reformasi birokrasi ala Depkeu merupakan langkah tepat untuk menyelesaikannya. Reformasi birokrasi telah mampu mengikis sebagian besar penyakit kronis yang disebabkan sistem birokrasi di lingkungan Ditjen Pajak. Namun akar masalah adanya mafia pajak ini adalah adanya “kerjasama” saling menguntungkan (win-win solution) antara wajib pajak dan aparat pajak. Untuk menyelesaikan akar masalah tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah secara luar biasa. Lebih jelasnya lihat tulisan saya sebelumnya di sini untuk mengetahui salah satu strategi pemecahannya. Mohon saran-masukannya. Terima kasih
Hari-hari ini, berbagai informasi tentang Gayus, seorang PNS Ditjen Pajak, yang mempunyai rekening Rp 25 miliar menjadi sorotan. Dalam kesempatan sebelumnya saya pernah menulis tentang Mafia Pajak (di sini) dan Balada Gayus dan Mafia Pajak (di sini). Kasus Gayus semakin menguatkan masih kuatnya mafia pajak meskipun reformasi birokrasi di Departemen Keuangan (termasuk Ditjen Pajak) telah dilakukan.
Dalam suatu kesempatan saya sempat ngobrol dengan sopir angkot yang sedang “ngetem” sambil membaca koran. “Wuih, kok ada ya PNS punya uang Rp 25 miliar?” Celetukan saya tersebut langsung disambar sopir angkot tersebut,”Biasa mas, orang pajak memang terkenal tajir-tajir.” “Kok tahu, bang?”, tanya saya memancing. Sambil meletakkan koran yang sedang dibacanya, sang sopir angkot menceritakan kenangannya bersama mahasiswa-mahasiswa yang kelak menjadi pegawai pajak.
Sopir angkot jurusan Ceger-Taman Puring tersebut berasal dari keluarga Betawi yang mempunyai rumah dekat kampus STAN. Ada beberapa mahasiswa STAN yang ngekos di rumahnya. Dia tahu betul kondisi mahasiswa-mahasiswa tersebut. Mereka rata-rata berasal dari luar Jakarta. Kadang dengan wajah lesu mereka meminta maaf belum bisa membayar uang kos. Sering mereka menumpang makan di tempatnya atau ngutang di warteg samping kos-kos-an. Saking lamanya bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa tersebut, sang sopir angkot hafal betul kapan mahasiswa tersebut sedang bokek, sedang sibuk menghadapi ujian, ingin minta air dingin dari kulkas, atau ingin meminjam sepeda onthel miliknya untuk berbagai keperluan.
Kondisi berubah 180 derajat kala para mahasiswa tersebut sudah bekerja di berbagai tempat. Yang paling mencolok, kata sang sopir, adalah mereka-mereka yang bekerja di kantor pajak. Beberapa diantaranya membeli rumah dan tanah di sekitar kampus STAN. Rumah cukup mentereng dengan tanah yang cukup luas plus mobil nangkring di garasi sering menjadi perbincangan penduduk sekitar yang biasanya kenal dengan si pemilik rumah sejak masih mahasiswa. Gambar rumah di atas bisa menjadi contoh proses transformasi Gayus yang berasal dari keluarga sederhana menjadi Gayus yang luar biasa.
“Oh gitu, jadi apakah abang percaya kalau Gayus mendapat titipan uang Rp 25 miliar?”, tanya saya kepada sang sopir yang sangat bersemangat ketika bercerita. “Mana mungkin bisa?”, jawabnya. “Mengapa tidak bisa, bang?”, kejar saya. “Pokoknya nggak mungkin aja,” jawab sang sopir sekenanya. “Berangkat, Din,” teriak sang “timer” membuyarkan obrolan kami. Ketika saya tengok ke belakang, penumpang memang sudah penuh dan ada diantaranya yang mengedipkan mata kepada saya, tanda dia menikmati obrolan saya dengan sang sopir.
Konon ketika ditanya asal-usul hartanya, banyak diantara pegawai pajak tersebut yang mengaku punya bisnis, nyambi menjadi konsultan pajak, mengajar di berbagai kursus-kursus pajak, atau bahkan dapat hibah. Dengan berbagai argumentasi mereka menyatakan bahwa semuanya diperoleh dengan cara yang “wajar”. Demikian juga dengan Gayus Tambunan, dalam acara ‘Apa Kabar Indonesia Pagi’ tvOne, dia memiliki usaha sampingan, selain menjadi pegawai pajak, juga nyambi pekerjaan lain.
Hari-hari sebelumnya kita juga mendapatkan informasi tentang harta Hadi Purnomo (mantan Dirjen Pajak yang sekarang menjadi Ketua BPK) yang sekitar 94% dari Rp 38,8 miliar hartanya berasal dari hibah. Sebelumnya Muhammad Misbakhun (inisiator Pansus Century dan mantan ajudan Hadi Purnomo ketika menjadi Dirjen Pajak) membuat heboh dengan kasus L/C gagal bayar sebesar US$ 22,5 juta. Dalam tulisan saya sebelumnya (di sini) saya sempat menyoroti asal-usul hartanya yang dipergunakan sebagai modal melakukan bisnis.
Sudah menjadi rahasia umum, banyak aparat pajak yang mempunyai kekayaan yang tidak wajar. Di sekitar kampus STAN (termasuk perumahan Bintaro), terdapat beberapa rumah pegawai pajak. Faktor historis sebagai mantan mahasiswa STAN menjadikan banyak diantara mereka yang memilih tempat tinggal (entah yang pertama, kedua, atau keberapa) di sekitar lokasi kampus STAN. Konon banyak di beberapa perumahan eksklusif lainnya, banyak dimiliki pegawai pajak.
Namun jangan salah, tidak mudah untuk mengecek kepemilikan rumah atau tanah tersebut. Sebagai akuntan dan pegawai pajak yang terbiasa menginvestigasi kepemilikan aset-aset wajib pajak, mereka sangat pandai menyembunyikan harta kekayaannya. Secara formal, kepemilikan aset-aset tersebut banyak diatasnamakan orang lain. Namun biasanya masyarakat sekitar mengetahui pemilik sebenarnya dari aset (terutama aset tidak bergerak seperti tanah dan rumah). Oleh karena itu, masyarakat bisa menjadi “investigator” dalam rangka memburu aparat pajak atau aparat pemerintah lainnya yang mempunyai kekayaan yang tidak wajar.
Salah satu cara yang bisa dilakukan masyarakat sebagai “investigator” adalah dengan cara memfoto dan memberi keterangan foto tersebut berupa siapa pemiliknya, alamat rumah/tanah tsb, jabatan pemiliknya, dst. Hasilnya bisa dikirimkan ke aparat yang berwenang (misal ke KPK dengan KPK Online Monitoring System (di sini) yang mampu melindungi identitas pengirim). Informasi awal tersebut bisa digunakan KPK sebagai bahan investigasi atau klarifikasi harta kekayaan yang dilaporkan penyelenggara negara (PN). Pengirim informasi bisa terus berkomunikasi dengan petugas KPK tanpa pihak KPK atai pihak lainnya mengetahui siapa pengirimnya. Saya pernah melakukan hal ini dan terbukti cukup efektif dan aman. Oleh karena itu, mari kita berburu Gayus-Gayus yang lain. Namun perlu diingat bahwa masih banyak aparat pajak dan aparat pemerintah yang jujur dan amanah, sehingga masyarakat juga perlu fair dalam memburu aparat pajak/pemerintah yang nakal. Salam Anti Korupsi

sumber: googling

Tidak ada komentar:

Posting Komentar