Minggu, 19 Desember 2010

Melestarikan Angklung, Merawat Kebudayaan

Secara etimologis, kata angklung berasal dari kata angka, yang bisa pula berarti nada, dan kata lung yang berarti patah atau hilang. Uniknya, dari kumpulan bilah bambu ini justru tercipta nada-nada yang harmonis. Ya, alat musik ini memang terbuat dari bambu, tanaman purba yang banyak ditemukan di Indonesia. Angklung kerap dimainkan pada upacara-upacara adat, ritualritual kebudayaan, serta hiburan dalam masyarakat tradisional.

Namun, angklung juga turut mengharumkan nama bangsa di berbagai pentas internasional lewat misi-misi kesenian. Angklung pun tidak hanya sebagai alat musik, akan tetapi juga sebagai instrumen yang turut memberi warna terhadap khasanah budaya. Artinya angklung sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa Barat.

Sebagai masyarakat yang diwarisi kekayaan budaya yang cukup berharga, sudah seharusnya dan sewajibnya angklung dijaga, pelihara, dan dipopulerkan. Sebab itulah, agar tidak diklaim negara lain, baru-baru ini angklung dipatenkan dalam suatu keputusan lembaga internasional, di Naerobi, Kenya. Agar angklung tetap hidup dan tidak ditinggalkan, baru-baru ini digelar pameran Purwa Rupa Angklung di Bentara Budaya, Jakarta.

Dalam pameran yang berlangsung 18 hingga 27 November ini, ditampilkan beberapa jenis angklung, baik yang berasal dari Jawa Barat, maupun yang berasal dari Jawa Timur dan Bali. Pameran tersebut juga menghadirkan beberapa jenis angklung tertua dan beberapa jenis angklung yang sudah dimodifikasi. Angklung tertua yang masih ada sampai saat ini adalah angklung Gubrag yang dibuat di Jasinga, Bogor, Jawa Barat.

Konon angklung ini telah berusia 400 tahun. Angklung-angklung tersebut masih tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung. Di tahun 1938, Daeg Sotigna seorang seniman daari Bandung, Jawa Barat, menciptakan angklung yang berlaraskan nada diatonik. Sejak saat itu angklung dapat digunakan sebagai sarana pendidikan, hiburan dan juga dapat mengiringi lagu dari berbagai jenis musik.

Pada tahun 1966, Udjo Ngalagena (Mang Ujo), murid dari Daeg Soetigna mengembangkan angklung yang berlaraskan tangga nada pentatonik Salendro, Pelog, dan Madenada. Dalam pameran ini ada tiga jenis angklung yang dipamerkan. Pertama yaitu kelompok angklung tradisi atau tradisional. Pada bagian ini dihadirkan sebanyak 12 jenis angklung dari berbagai komunitas adat se-Indonesia, seperti angklung Buhun, Buncis Arjasari, Bende, Badud, Caruk Banyuwangi, Gong Gumbeng, dan angklung Jegog Bali.

Modifikasi Bagian yang kedua yaitu angklung diatonis atau biasa disebut dengan angklung Padaeg. Disebut Padaeg karena angklung yang semula bertangga nada pentatonis ini kemudian dikembangkan oleh Daeg Soetigna, yaitu bapak angklung Indonesia, menjadi angklung diatonik krematis, sehingga angklung ini bisa memainkan jenis musik apapun, karena sudah bertangga nada do, re, mi, fa, sol, la, si, do ( tangga nada solmisasi).

Sedangkan yang terakhir adalah angklung masa depan atau angklung yang telah dimodifikasi, baik bentuk maupun cara memainkan, seperti digetar, dipukul, dan cara-cara lainnya. Untuk jenis yang terakhir ini, Sanggar Saung Angklung Mang Udjo bersama Bank Mandiri menggagas kompetisi desain inovatif angklung. Pameran dan kompetisi pembuatan angklung ini merupakan salah satu bentuk sosialisasi agar angklung tidak hidup sendiri.

Selama itu tidak keluar dari bahan dasarnya yaitu dari bambu, maka modifikasi angklung sampai saat ini tidak mengganggu nilai-nilai filosofis alat musik tersebut. Karena angklung pada kodratnya adalah alat musik akustik, ia pun bisa dikolaborasikan dengan berbagai alat musik lain seperti perkusi, bas, keyboard, dan drum.

“Seperti yang pernah dipertontonkan kelompok musik Saung Angklung Mang Udjo ketika tampil di Java Jazz Festifal, beberapa waktu lalu,’’ ujar Arief Sarifudin, Ketua Dapur Angklung Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar