Sabtu, 25 Juni 2011

System keuangan internasional

Dalam masa perang, kebanyakan perekonomian dijangkiti oleh gejala inflasi yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pemerintah dalam membiayai perangnya banyak menggunakan kebijakan anggaran belanja deficit yang ditutup dengan mencetak uang kertas. Sementara itu tidak sedikit jumlah Negara yang pemerintahannya dalam membiayai perang juga menggunakan cadangan valuta asing beserta kekayaan luar negri mereka, sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya terpaksa sttusnya sebagai Negara kreditur ditanggalkan dan berganti dengan status baru, yaitu status Negara debitur.

Perang dunia pertama berjalan selama empat tahun. Dengan berakhirnya perang dunia, suasana ekonomi berubah, dari suasana ekonomi perang menjadi suasana ekonomi damai pasca perang, dimana banyak kegiatan diarahkan kepada rekonstruksi, yaitu pembangunan kembali dari kerusakan-kerusakan pada berbagai sarana dan prasarana, serta pembenahan kembali lembaga-lembaga ekonomi mereka, baik yang swasta, semi swasta ataupun pemerintah, baik domestic maupun juga internasional. Khususnya dalam bidang moneter internasional dapat diketengahkan bahwa kurun waktu antara 1919-1926 merupaka kurun waktu dimana inggris, perancis, dan beberapa Negara lainnya berusaha sampai berhasil kembali menggunakan system standar emas lagi. Usaha tersebut didorong oleh pengalaman serta keyakinan bahwa system standar emas yang untuk sementara terpaksa mereka tinggalakan, apabila dipergunakan lagi akan dapat membawa perekonomian mereka kembali jaya dan berkembang seperti yang telah mereka capai pada masa-masa sebelum terjadinya perang dunia.
Dugaan dan harapan mereka ternyata tidak seluruhnya meleset. Dengan mereka kembali menggunakan system standar emas, puncak kemakmuran yang pernah mereka rah pada kurun waktu pra perang dunia, berhasil mereka capai kembali. Hanya saying bahwa konstalasi perekonomian dunia pasca perang dunia pertama ini tidak lagi sama dengan konstalasi perekonomian dunia pada saat sebelum perang dunia.

Untuk kembali menggunakan system standar emas, ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan waktu itu. Mengenai masalah penentuan tingginya kues arta yasa, yaitu yang dengan perkataan lain menentukan nilai mata uang dalam negri dinyatakan dalam emas, tidak boleh dianggap mudah; terutama karena hubungan system moneter dan system harga antar Negara cukup lama terputus. Penentuan nilai yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menimbulkan kesulitan berat bagi perekonomian bersangkutan. Untunglah masalah ini diperingan oleh kenyataan bahwa penggunaan kembali kesistem standar emas didahului oleh penggunaan system kurs mengembang. Selama berlaku kurs system mengembang, keterkaitan system haraga antar Negara terbentuk. Dengan demikian kurs yang terjadi dalam sistm kurs bebas dapat dipergunakan sebagai ancar-ancar dalam menentukan nilai mata uang dalam negri yang dinaytakan dalam emas.

Macam kesulitan lain yang ada hubungannya dengan masalah penentuan tingginya kurs arta yasa ialah kenyataan bahwa pelaksanaan kembali menggunakan system standar emas tidak dilakukan dalam waktu yang sama. Dengan demikian ekuilibrium yang telah dicapai oleh sekelompok Negara yang telah kembali menggunakan system standar emas dapat kembali mengalami goncangan hanya disebabkan oleh adanya Negara baru yang kembali menggunakan system standar emas dengan kurs arta yaa yang kurang realistic.

Pada waktu menentukan nilai mata uang masing-masing Negara, ternyata disatu pihak mata uang pondsterling dinilai terlalu tinggi, sedangkan mata uang French perancis di lain pihak dinilai terlalu rendah. Sebagai konsekuensinya, inggris banyak mengalami kesulitan dalam neraca pembayarannnya. Untuk mengurangi deficit neraca pembayarannya terpaksa inggris sering mendeflasikan perekonomiannya dengan banyak pengangguran sebagai konsekuensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar